Minggu, 02 Maret 2008

Juara III Lomba Menulis Opini PBT ITB 2008

Tehcnopreneurship : Solusi Kemandirian Bangsa

Oleh : Aulia Hamdani Feizal

Sungguh aneh jika kita telah berpuluh-puluh tahun merdeka, tapi kita masih membicarakan tentang kemandirian bangsa. Waktu enam puluh dua tahun merupakan waktu yang cukup lama bagi sebuah bangsa untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang maju dan mandiri. Pasti ada yang salah dengan perjalanan mengisi kemerdekaan bangsa ini jika dalam waktu lebih dari 62 tahun, isu kemandirian masih merupakan isu yang sering kita bahas.

Kemandirian (self relience) pada dasarnya adalah perilaku yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi permasalahan untuk mencapai tujuan, atau dengan kata lain keadaan dapat mengurus kepentingan sendiri tanpa bergantung pada pihak lain. Dalam konteks kebangsaan kemandirian berarti mengutamakan potensi dan kekuatan nasional dalam menghadapai tantangan bangsa demi mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Dalam hubungannya dengan pembangunan, kemandirian dapat menjadi suatu parameter, apakah karena pembangunan tersebut rakyat dapat lebih mandiri dan bebas atau justru semakin bergantung kepada pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh : apakah dengan dilaksanakannya pembangunan, industri-industri akan semakin mandiri atau justu semakin bergantung dengan bahan mentah impor. Apakah negara kita swasembada pangan atau justru malah mengimpor beras dari luar negri.

Selanjutnya kemandirian dalam bidang politik dapat diartikan bahwa kita dapat dengan bebas menentukan kebijakan tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Dalam pergaulan politik internasional suatu bangsa yang mandiri akan dapat menyatakan pendapatnya dengan bebas. Selain itu kemandirian nilai dan budaya juga merupakan hal yang penting. Kemandirian nilai dapat menjadi suatu ukuran dalam melihat martabat suatu bangsa. Bangsa yang memiliki identitas dapat dengan lantang mengatakan bahwa bangsanya sejajar dengan bangsa lain di dunia.

Oleh karena itu, kemandirian merupakan harga mati dari sebuah kemerdekaan. Kemandirian adalah makna dari kemerdekaan. Kemandirian dan kemerdekaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kemandirian merupakan supremasi bagi sebuah bangsa yang merdeka. Martabat suatu bangsa yang merdeka adalah tidak bergantung pada bangsa lain. Kemandirian merupakan martabat yang diraih melalui sebuah perjuangan. Kemandirian adalah humanisasi dan emansipasi. Kemandirian merupakan suatu konsep yang sangat relevan dengan peran manusia sebagai khalifah Allah. Kemandirian merupakan kodrat manusia yang paling hakiki dan tidak bisa ditawar lagi.

Akan tetapi pada kenyataannya, Bangsa Indonesia yang telah lebih dari 62 tahun merdeka masih sangat jauh dari kondisi diatas. Kenyataan yang terjadi pada bangsa ini justru sebaliknya. Negara kita yang terkenal kayak akan minyak bumi, saat ini justru menjadi negara importir minyak. Sumber mineral kita banyak dieksploitasi oleh pihak asing. Hal yang lebih menyedihkan adalah manfaat terbesar justru bukan didapat oleh bangsa kita sendiri melainkan pihak kontraktor asing dan kroni-kroni Indonesianya. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pemerintah kewalahan mengatasi kebakaran hutan yang terjadi pada tanahnya sendiri. Tanah dimana tumbuh hutan-hutan yang sangat luas dan lebat.

Bangsa kita yang dikenal sebagai bangsa maritim dengan ironisnya tidak berdaya dengan lautnya sendiri. Masih banyak potensi laut kita yang belum ter-eksplore, bahkan belum diketahui. Kita belum memiliki kemampuan yang cukup untuk memberdayakan laut kita sendiri. Kapal-kapal asing setiap tahun mencuri ikan dari laut kita. Tidak hanya ikan, pasir kita juga ternyata memiliki nasib yang sama. Setiap tahun pasir kita dikeruk dan diselundupkan ke negara tetangga. Sampai saat ini, pasir kita yang telah dicuri setidaknya bernilai tiga milyar dolar AS. Kita juga pernah beberapa kali kewalahan dalam melindungi pulau kita sendiri dari klaim pihak asing.

Semua aset yang kita punya dijual kepada pihak asing. Kita begitu bangga dengan investasi asing yang masuk ke Indonesia. Asingisasi begitu marak dimana-mana. Tidak cukup hanya kekayaan alam, badan usaha strategis milik pemerintah pun terancam mengalami asingisasi. Akhirnya kita mendapati semua aspek kehidupan kita sudah digregoti oleh asing. Industri-industri yang adapun hanya industri perakitan yang sebagian besar untungnya pun ke luar negri. Industri perakitan tersebut hanya sedikit memberikan nilai tambah pada teknokrat-teknokrat negeri ini. Indonesia hanya berperan sebagai pasar. Industri tersebut dipaksa untuk bekerja keras dengan biaya produksi yang minim, sehingga kaum buruh Indonesia terus menerus menjerit sementara untung yang dinikmati oleh pemilik modal asing semakin berlipat-lipat.

Pembangunan dilakukan dengan pondasi yang lemah : utang luar negri. Sejak tahun 1967, untuk membiayai pembangunan pemerintah kita mengemis-ngemis utang dari organisasi moneter internasional. Akhirnya sampai saat ini kita berada dalam jebakan utang (debt trap). Pembangunan kita pun tak luput dari pengawasan dan kepentingan para kapitalis tersebut. Pembangunan tidak lagi memiliki orientasi untuk mensejahteraan rakyat. Pembangunan dilakukan hanya untuk memenuhi keadaan-keadaan yang disyaratkan oleh lembaga moneter internasional. Bahkan setiap tahunnya IMF (International Monetary Fund) menyusun sebuah laporan tentang Indonesia yang harus dilaksanakan jika Indonesia tidak mau diisolasi dari negara peminjam hutang. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan tumpulnya visi pada pembangunan kita. Pembangunan yang seperti ini tentu sangat jauh dari konsep mandiri dan cita-cita bangsa.

Dari fakta-fakta diatas dapat dengan jelas kita lihat bahwa Indonesia saat ini masih sangat jauh dari kata mandiri. Pihak asing masih begitu kental berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Apa yang telah terjadi sebenarnya? Mengapa bangsa yang dahulunya sangat mahsyur dengan kisah Majapahit ini bisa terjebak dalam kondisi yang demikian buruk?

Sebenarnya, ide dan tekad untuk menjadi bangsa yang mandiri telah ada sejak zaman pra-kemerdekaan. Pada tahun 1923, Perhimpunan Indonesia yang ada di Negeri Belanda telah mengeluarkan pernyataan bahwa tiap-tiap orang Indonesia harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dengan kemampuan sendiri, tanpa terikat dengan bantuan orang lain. Pernyataan Perhimpunan Indonesia tersebut kini dikenal dengan Manifesto Politik 1925. Menurut seorang pakar sejarah Sumpah Pemuda 1928 lahir dari pengumandangan kembali dimensi-dimensi manifesto ini.

Pada tahun 1932 Muhammad Hatta dalam tulisannya berjudul Ke Arah Indonesia Merdeka mengaskan bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Selanjutnya Muhammad Hatta kemudian menegaskan bahwa agar tercapainya suatu masyarakat yang berdasar keadilan dan kebenaran, haruslah rakyat insaf akan hak dan harga dirinya dan kemudian bangsa tersebut harus menetukan nasibnya sendiri. Pada awal kemerdekaanpun bapak proklamator kita, Sukarno, telah menyuarakan slogan “ berdiri diatas kaki sendiri” atau yang kita kenal dengan istilah “berdikari”.

Para cerdik cendekia tersebut memang memiliki pemikiran yang sangat cemerlang. Jauh sebelum Indonesia terpuruk mereka telah menegaskan pentingnya arti kemandirian. Akan tetapi ternyata para cerdik cendekia tersebut hanya segelintir dari masyarakat Indonesia. Tiga Abad Indonesia dijajah oleh Belanda. Penjajahan telah mewariskan mentalitas masyarakat yang lemah dan bobrok. Penjajahan adalah kejahatan sosial, kultural, politik dan ekonomi. Masa penjajahan adalah masa dehumanisasi, diskriminasi dan humilasi. Masa penjajahan yang begitu lama telah membentuk bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bermental kuli. Kita tidak lagi dapat berpikir inovatif dan kreatif.

Selain itu, penjajahan dengan efektif telah menggunakan kekuasaan feodal pribumi. Jiwa-jiwa feodalistik tersebut sampai saat ini telah begitu sukses diwariskan dari generasi ke generasi. Pucuk-pucuk kepemimpinan tertinggi di negeri ini banyak dipegang oleh kaum elit bangsawan yang sama sekali tidak membumi dan tidak merakyat. Negara demokrasi dimana seharusnya kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat malah direpotkan dengan banyaknya pejabat yang justru tidak berpihak kepada rakyat. Arogansi birokrasi begitu kental terasa. Hal ini pada akhirnya menyebabkan kesenjangan terhadap kepemilikan terhadap pembangunan. Hanya pihak-pihak tertentu saja yang dapat menikmati hasil pembangunan. Pihak-pihak tertentu ini tidak lain dan tidak bukan adalah para elit kekuasaan atau mereka yang secara sosial dan ekonomi mampu meraih kesempatan yang ada. Keadaan ini terus terpelihara dan tumbuh subur pada era orde baru. Merekalah para pengkhianat bangsa. Mereka yang dahulu memegang kekuasaan di negeri ini dengan bangganya lebih memilih mengurus kepentingan global ketimbang mempelajari kepentingan rakyatnya sendiri. Akibatnya saat ini bangsa kita terjebak dalam suatu lingkararan setan yang merupakan bagian dari sekenario kekuatan global.

Tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Semua permasalahan diciptakan dengan solusinya. Selalu ada celah di setiap kesulitan. Iran, Cina dan India adalah negara yang telah menemukan celah tersebut.

Iran adalah sebuah negara yang memiliki penduduk hanya sekitar 60 juta jiwa. Masyarakat Iran cendrung tidak heterogen, mereka dipersatukan oleh sebuah agama dan ideologi : islam. Negara Iran sejak dahulu terkenal dengan negara yang tidak tunduk terhadap dunia barat. Di saat banyak negara berkembang bersikap manut-manut terhadap kebijakan politik internasional dunia barat, Iran justru dapat bersikap objektif dan seusai pendirian.

Saat ini kita semua menyaksikan bagaimana Iran menjadi sebuah bangsa yang mampu membebaskan diri dari negara barat. Kita masih ingat bagaimana dahulu Iran terkena embargo dari Amerika Serikat selama dua belas tahun. Iran dengan gagahnya mampu bertahan dengan kondisi tersebut. Bahkan Iran berani mengambil langkah-langkah untuk bekerja sama dengan negara-negara yang terkena embargo Amerika Serikat. Dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, Iran telah mampu mensejajarkan diri dengan negara-negara lain, bahkan dengan negara barat. Bahkan ketika Iran terkena embargo, banyak kalangan yang masih percaya bahwa Iran masih memiliki kemampuan militer yang canggih. Dalam kancah perpolitikan internasional, Iran mampu bersikap dan menyampaikan pendapatnya dengan bebas

Jika kita lihat lebih dekat, Iran justru tidak terlihat seperti negara-negara yang superior pada umumnya. Kita tidak akan menemukan gedung-gedung tinggi, pusat-pusat hiburan, mal-mal megah, rumah-rumah mewah dan simbol-simbol kemakmuran lainnya. Bahkan kantor pemerintahpun sangat jarang yang dibangun dengan megah seperti layaknya di negara-negara barat. Tapi dibalik itu semua, kita dapat dengan mudah menemukan perpustakaan-perpustakaan berstandar internasional. Kita juga dapat dengan mudah menemukan pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan seperti laboratorium-laboratorium dengan fasilitas yang baik. Laboratorium tersesebut setiap tahunnya selalu menghasilkan karya-karya yang menjadi modal kemajuan teknologi Iran. Iran benar-benar sadar bahwa penguasaan teknologi merupakan modal awal bagi sebuah bangsa untuk dapat menjadi bangsa yang mampu berdiri sendiri.

Dari Iran kita bergesar sedikit ke Timur, ke salah satu negara dengan penduduk terbanyak di dunia : India. Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini India merupakan salah satu negara yang sukses mengembangan dunia teknologi informasi. Banyak ahli-ahli teknologi teknologi informasi yang bekerja di laboratorium-laboratorium negara barat yang berasal dari India. Saat ini India telah berhasil menciptakan mobil dan pesawat dari keringat mereka sendiri. Bahkan produk-produk teknologi dari India, seperti alat-alat instrumentasi kedokteran, sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Produk-produk India ini terkenal jauh lebih murah dari produk buatan Amerika Serikat sekalipun.

India merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat banyak. Pemerintah India sepertinya benar-benar mengerti bahwa manusia adalah aset yang paling berharga. Setiap tahunnya jutaan mahasiswa India berekspansi ke luar negeri. Mereka semua menjadi agen-agen untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi barat. Mereka menjelma menjadi makhluk kosmopolit. Namun setelah mereka berhasil mempelajari teknologi barat, kebanyaan mereka banyak yang kembali ke negaranya. Di negaranya mereka mendirikan pusat-pusat riset terutama di lingkungan universitas. Saat ini universitas-universitas di India banyak yang menjadi jajaran universitas top dunia. Dalam hal ini jiwa nasionalisme begitu terasa. Setiap tahunnya penduduk India berlomba-lomba untuk masuk ke universitas-universitas tersebut. Hal ini tentu tak lepas dari peran pemerintah India. Inilah usaha India untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia mereka : membangun pendidikan yang baik.

Lain India, lain pula Cina. Saat ini Cina merupakan negara dengan gaya kapitalisme yang halus. Negara ini dulu pernah berada pada masa kelam, yaitu ketika mereka percaya pada doktrin Karl Marx tentang sosialisme. Sosialisme dahulu pernah mendarah daging di Cina. Namun saat ini Cina menjadi negara yang lebih terbuka dengan pihak asing, terutama barat. Cina berusaha menjadi surga investasi bagi pihak asing. Politik dan birokrasi dikondisikan untuk mendukung hal ini. Sehingga saat ini di Cina banyak terdapat kawasan-kawasan industri teknologi tinggi. Gedung-gedung tinggi pencakar langitpun berdiri dimana-mana. Semua itu adalah simbol dari kemajuan dan kemakmuran Cina.

Dibalik itu semua, Cina sadar bahwa kemajuan tidak hanya pada pertumbuhan ekonomi. Cina sadar jika mereka terus seperti ini, Mereka hanya akan berakhir menjadi pasar. Di awal pembangunannya, Cina membeli banyak sekali hak cipta. Tujuannya agar bangsanya dapat berinovasi menciptakan sendiri barang-barang mereka dengan nilai tambah teknologi. Dengan demikian, negaranya tidak hanya menjadi tempat perakitan selayaknya di Indonesia. Perlahan Cina dapat mengimbangi teknologi asing. Saat ini Cina justru dapat menciptakan sendiri barang mereka sendiri.

Untuk mendukung semua itu pemerintah cina banyak mendirikan pusat-pusat riset dan universitas. Bahkan universitas mereka yang berada di Peking menjadi salah satu universitas terkemnuka di kawasan Asia Pasifik. Saat ini Cina juga telah merombak ajaran konfusionisme sebagai kepercayaan masyarakat. Justru saat ini konfusionisme menjadi ajaran progresif yang memajukan bangsanya. Hal ini sangat luar biasa mengingat keluar dari suatu doktrin dan dogma bukan perkara gampang. Cara berpikir kritis dan progresif sangat diperlukan disini.

Jika kita berkaca pada tiga neraga tersebut, kita dapat menarik sebuah benang merah tentang kemandirian bangsa : penguasaan teknologi. Kemandirian bukan terletak pada gedung-gedung pencakar langit, konsumsi bahan bakar yang tinggi, pendapatan perkapita yang tinggi, atau bukan juga pada sistem ekonomi yang mutakhir. Bahkan kemandirian juga tidak ditentukan oleh GNP (Gross Net Product) dan GDP (Gross Domestic Product) yang tinggi. Akan tetapi kemandirian adalah ketika daya cipta dan karya suatu bangsa dijadikan kekuatan utama bagi pemenuhan kebutuhan. Salah satu pemenuhan kebutuhan sebuah bangsa yang paling esensial adalah penguasaan teknologi.

Bangsa yang menguasai dunia adalah bangsa yang menguasai teknologi, pencipta teknologi, penyerap teknologi dan pengguna teknologi. Pada zaman dahulu, Bangsa Eropa dapat menjadi bangsa yang menguasai dunia karena mereka menguasai teknologi penjelajahan sehingga mereka dapat mengarungi samudra dan pada akhirnya menguasai daerah-daerah kaya sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan mereka. Paham imperialisme dan kolonialisme-pun lahir ke muka bumi. Sehingga selama berpuluh-puluh tahun, banyak bangsa-bangsa di Asia yang menjadi jajahan bangsa-bangsa Eropa. Akan tetapi penguasaan teknologi yang seperti demikian tentu tidak lagi relevan dengan kondisi dunia saat ini. Penguasaan teknologi saat ini adalah untuk memnberi nilai tambah terhadap suatu barang dan jasa sehingga kita dapat mengambil keuntungan.

Potensi alam Indonesia yang melimpah ruah akan percuma jika tidak diolah. Pengolahan terhadap sumber kekayaan alam tersebut hanya bisa dilakukan oleh bangsa yang telah menguasai teknologi. Pada kenyataannya, banyak industri pertambangan dan perminyakan di Indonesia yang dikuasai perusahaan asing. Pihak asinglah yang menjadi pelaku utama dalam mengolah kekayaan alam kita. Bangsa kita hanya menjadi pekerja dan mendapatkan ”upah” yang sama sekali tidak sebanding dengan keuntungan yang dihasilkan. Bangsa kita justru seringkali dirugikan dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan industri-industri tersebut. Hal ini diperparah dengan adanya kongkalikong para elit penguasa negeri ini dengan pihak-pihak asing tersebut sehingga kekayaan alam kita terus menerus dikeruk oleh orang lain dimana bangsa kita hanya sedikit menikmati keuntungan.

Negara kita juga dibanjiri oleh produk-produk dari luar negeri. Dalam dunia telekomunikasi misalnya, kita dapat melihat bagaimana hampir semua kebutuhan akan telekomunikasi disediakan oleh pihak asing. Lagi-lagi pihak asing menikmati keuntungan yang berlipat. Negeri kita menjelma menjadi pasar paling menggiurkan di mata orang-orang asing. Akhirnya setiap tahunnya aliran dana keluar negeri mengalir dengan derasnya. Hal ini tentu tidak akan terjadi jika bangsa ini dapat menciptakan produk-produk yang dapat memenuhi kebutuhan kita sendiri.

Ketika pada tahun 90-an Indonesia dikenai embargo peralatan militer oleh Amerika Serikat, TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang banyak menggunakan produk militer dari Amerika Serikat akhirnya mengalami kesulitan untuk mendapatkan suku cadang. Akhirnya selama beberapa tahun negara kita menjadi negara dengan pertahanan yang lemah. Saat itu, jika sewaktu-waktu bangsa kita diserang oleh negara lain, tentunya negara tersebut dapat menguasai negara kita dengan mudah.

Keadaan diatas tentu sangat kontradiktif dengan keadaan Iran yang berusaha menguasai teknolgi dengan kesederhanaa, India yang dengan kerasnya menguasai teknologi, atau Cina yang memanfaatkan investasi asing untuk menguasai teknolgi. Ketiga bangsa tersebut kini dapat menjadi bangsa yang mandiri dan dapat menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa bangsa kita masih lemah dalam penguasaan tekonogi sehingga sampai saat ini bangsa kita selalu bergantung terhadap penyedia teknologi yang tidak lain adalah pihak asing.

Setiap tahunnya, pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap pengembangan teknologi. Bahkan Kementrian Riset dan Teknologi kurang begitu populer dibandingkan Kementrian Kordinator Ekonomi. Pemerintah jarang bersikap koperatif dengan industri-industri teknologi di Indonesia. Pada akhirnya Industri berbasis teknologi di Indonesiapun tenggelam diantara Industri-indsutri dari luar negeri. Bahkan semenjak era milenium ketiga ini, pemerintah sering sekali menganak tirikan industri-industri teknologi nasional seperti PT Dirgantara Indonesia misalnya.

Keadaan ini sangat ironis mengingat ternyata bangsa kita memiliki kualitas sumber daya manusia yang mumpuni. Indonesia memilki banyak teknokrat-teknokrat handal yang seringkali direkrut oleh perusahaan asing. Kita juga memilki praktisi hampir di semua bidang teknologi. Negara kita juga tidak jarang menjuarai kompetisi-kompetisi sains tingkat internasional seperti olimpiade fisika, kimia, matematika atau astronomi. Kita juga memilki dua instutitut teknologi yang menjadi ujung tombak pengembangan teknologi.

Untuk membangun indsutri berbasis teknologi di Indonesia, diperlukan kerjasama dari banyak pihak. Pihak yang paling sentral adalah pemerintah. Pemerintah diharapkan dapat membangun iklim yang mendukung industri-industri teknologi dalam negeri. Bahkan jika perlu, pemerintah harus membuat kebijkan-kebijakan yang menguntungkan industri-industri dalam negeri sehingga dapat bersaing dengan industri dari luar negeri. Pemerintah juga harus membangun suatu kawasan pengembangan teknologi seperti Silicon Valley di Amerika Seikat. Kawasan ini nantinya menjadi pusat pengembangan teknologi seperti riset. Bahkan negara tetangga kita, Malaysia, telah membangun kawasan ini sejak beberapa tahun yang lalu. Pemerintah juga harus memiliki anggaran riset yang mencukupi. Kenyataannya selama ini anggaran untuk riset yang dikeluarkan pemerintah sangatlah kecil.

Penguasaan teknologi tidak lepas dari peran perguruan tinggi. Hal ini berarti untuk mewujudkan bangsa yang menguasai teknologi maka kita tidak boleh melupakan dunia pendidikan. Sebagaimana seperti yang telah diuraikan diatas, Iran, India dan Cina memiliki pusat-pusat riset yang ada di universitas-universitas di negara mereka. Hal ini membuktikan bahwa negara-negara tersebut memiliki kualitas pendidikan yang baik. Pemerintah negara tersebut sangat serius dalam menyusun langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Dalam peringkat perguruan tinggi yang disusun oleh banyak kalangan, universitas di Cina dan India selalu masuk dalam peringkat lima puluh besar. Sementara universitas yang ada di Iran merupakan salah satu universitas top yang ada di kawasan Timur Tengah.

Saat ini dunia pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata baik. Jangankan untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas, untuk membebaskan semua masyarakat Indonesia dari buta huruf saja pemerintah belum mampu. Hal ini diperparah dengan kecilnya anggaran pendidikan setiap tahunnya, bahkan lebih kecil dari anggaran untuk mensubsidi BBM (bahan bakar minyak). Pendidikan yang buruk merupakan indikator bahwa bangsa ini masih jauh dari penguasaan teknologi yang berarti masih jauh pula untuk menjadi sebuah bangsa yang mandiri.

Selain penguasaan teknologi dan pendidikan hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah rasa nasionalisme. Nasionalisme merupakan roh yang menggerakkan kekuatan nasional. Kita dapat belajar dari India. Pemerintah India banyak mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya untuk belajar ke luar negri. Akan tetapi ketika pemerintah India membutuhkan kembali tenaga mereka untuk mengembangkan teknologi di negaranya, maka mereka dengan senang hati kembali ke negaranya. Kita juga dapat belajar dari Cina dimana negaranya mampu menerapkan hukuman tembak mati bagi pejabat yang korupsi. Hal ini tentu tidak lepas dari rasa nasionalsime terhadap bangsa sendiri.

Pada zaman orde baru, banyak elit kekuasaan dipegang oleh pengkhianat-pengkhianat bangsa yang miskin akan nasionalisme. Mereka lebih memilih menjual negara ini kepada asing daripada kepada rakyatnya sendiri. Mereka telah menggadaikan identitas mereka demi keuntungan pribadi. Orang-orang seperti ini mempunyai pengaruh yang kuat pada masa orde baru. Bahkan hingga sekarangpun masih banyak dari mereka yang menjadi pejabat-pejabat di negeri ini. Lebih parahnya lagi, kelompok tersebut saat ini sedang gencar menyebarkan doktrin-doktrin anti nasionalisme. Mereka mengatakan bahwa nasionalisme sudah tidak relevan lagi dengan arus globalisasi yang semakin hari semakin deras. Akibat doktrin anti nasionalisme ini, banyak teknoktrat-teknokrat negeri ini meninggalkan bangsanya sendiri dengan dalih globalisasi.

Tahun lalu sedang ramai dibicarakan kasus ladang minyak Blok Cepu yang ”diserahkan” pemerintah kepada Exxon Mobile. Blok Cepu hanya merupakan satu dari sekian banyak aset negara ini yang telah dijual pemerintah kepada pihak asing. Hal ini tentu tidak akan terjadi jika para pejabat pemerintah memiliki rasa nasionalisme. Pemerintah akan semaksimal mungkin mengutamakan kekuatan dan kepentingan nasional untuk mengelola kekayaan alam Indonesia. Bahkan jika perlu, pemerintah akan bertahan dengan kondisi miskin dimana kekayaan alam belum dapat diolah karena potensi nasional belum mampu untuk melaksanakannya. Semua itu tentunya berpulang kepada rasa nasionalisme.

Dari uraian diatas, ada beberapa keywords terkait dengan kemandirian sebuah bangsa. Keyword tersebut adalah penguasaan teknologi, inovasi dan kreasi, pendidikan, dan nasionalsime. Semua kata kunci tersebut dapat diimpelmentasikan dengan technopreneurship.

Technology entrepreneur atau lebih dikenal technopreneur adalah pengusaha yang memanfaatkan teknologi untuk menciptakan suatu nilai tambah dari barang dan jasa. Technopreneur diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan kemandirian bangsa. Dengan technopreuner kita dapat menjadi bangsa yang menguasai teknologi, karena dunia technopreneurship tidak akan lepas dari kata inovasi teknologi.

Dalam era globalisasi seperti saat ini, Indonesia dituntut untuk mengubah perekonomiaannya dari resourced based ke knowlege based. Resource based adalah perekonomian yang mengandalkan kekayaan sumber daya alam. Resource base akan menghasilkan nilai tambah yang kecil karena hanya menghasilkan komoditi dengan proses yang tidak begitu mutakhir. Dengan technopreneur yang merintis bisnis-bisnis baru dengan inovasi teknologi, Indonesia akan dapat menjadi negara knowledge based economy.

Technopreneur diharapkan akan berperan sebagai salah satu motor penggerak perekonomian bangsa, karena technopreneurship akan menciptakan lapangan kerja baru. Hal ini tentu akan menjadi solusi terhadap banyaknya jumlah pengangguran intelektual di Indonesia. Dengan technopreneur, kita dapat memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa, khususnya di bidang teknologi, dengan kekuatan kita sendiri. Hal ini tentunya akan menghentikan aliran dana yang selama ini banyak mengalir ke luar negeri. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian negara kita. Slogan yang cocok untuk menggambarkan technopreneur adalah ”Dari kita dan untuk kita”. Selain itu, technopreneurship juga akan menjadi wahana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia khususnya di bidang teknologi, karena dalam technopreneur, riset dan inovasi tak akan berhenti dilakukan.

Technopreneur juga dapat menjadi solusi dari masalah pengrekrutan teknokrat-teknokrat muda Indonesia oleh perusahaan asing. Dengan adanya technopreneur, lulusan perguruan tinggi dapat menjadi pelaku technopreneur dengan menjadi pemilik usaha bidang teknologi atau sekalipun hanya menjadi pekerja di negeri sendiri. Hal ini pada akhirnya akan menumbuhkan rasa nasionalisme karena kita dapat bekerja dan berkontribusi untuk kemajuan bangsa kita sendiri. Arifin Panigoro dengan bendera Medco-nya atau Tri Haryo Susilo dengan bendera Rekayasa Industri-nya merupakan sedikit contoh dari orang-orang yang telah berhasil menjalankan technopreneurship.

Pertanyaan yang timbul sekarang adalah : bagaimana menumbuhkan jiwa technopreneur? Jiwa-jiwa technopreneur diharapkan tumbuh pada generasi muda, khususnya mahasisawa, yang sedang berada dalam lingkungan perguruan tinggi teknologi. Akan tetapi pada kenyataanya, dari banyak mahasiswa Indonesia, hanya sedikit yang memilki jiwa wirausaha. Mereka biasanya berasal dari keluarga pengusaha dan pedagang. Kenyataan membuktikan bahwa ternyata jiwa entrepreuneur adalah jiwa yang dapat dipelajari dan dibentuk. Perguruan tinggi merupakan tempat yang paling tepat untuk membina jiwa kewirausahaan ini.

Selama berpuluh-puluh tahun, di Indonesia terjadi dikotomi antara ilmu pengetahuan dan ekonomi. Kedua dunia ini sekaan menjadi dua sisi mata uang yang berbeda. Dunia ilmu pengetahuan atau kita kenal dengan dunia pendidikan dipandang merupakan tempat dibangunnya nilai-nilai luhur dan budi pekerti, sementara dunia ekonomi dipandang sebaliknya. Dunia ekonomi dipandang sebagai dunia yang penuh kecurangan dan kemunafikan. Dunia ekonomi seolah menjadi dunia tanpa nilai.

Pendidikan seharusnya merupakan wujud nyata dari hasil pembangunan. Pendidikan seharusnya dapat menjadi keunggulan satu bangsa terhadap bangsa lain. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa negara industri maju seperti Singapura, Taiwan dan Cina yang ternyata memiliki kualitas pendidikan yang baik. Oleh karena itu pendidikan dan ekonomi sebenarnya bukanlah sesuatu yang dapat dipisahkan, melainkan saling mendukung satu dengan yang lainnnya.

Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa saat ini kita harus mengubah orientasi pendidikan kita dari berbasis akademis menjadi pendidikan yang berbasis kompetensi. Dalam pendidikan yang berbasis kompetensi inilah pembahasan akan technopreneurship dilakukan. Sehingga perguruan tinggi tidak lagi hanya menjadi tempat pencetak manusia yang memiliki keahlian tertentu, akan tetapi juga mencetak manusia yang memilki jiwa-jiwa entrepreuneur yang bervisi sehingga mampu berkontribusi secara aktif kepada bangsa Indonesia.

Selain pihak perguruan tinggi, pembentukan technopreneur juga tidak akan lepas dari peran pemerintah. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan di negeri ini harus mentukan langkah-langkah yang berkesinambungan untuk mendukung pertumbuhan indsutri berbasis teknologi. Pertumbuhan industri tidak akan lepas dari sistem penopangnya seperti infrastruktur atau iklim investasi. Pembentukan industri-industri teknologi tidak boleh dilepas begitu saja oleh pemerintah. Pemerintah harus menjadi pihak yang mengayomi dan melindungi industri-industri baru yang muncul.

Dengan berkembangnya technopreneurship di negara ini, diharapkan dapat menjadi solusi terhadap permasalahan-permasalahan bangsa sehingga kita dapat menjadi bangsa yang mandiri, bangsa yang mampu beridiri di atas kaki sendiri, bangsa yang dapat menyejajarkan diri dengan bangsa lain, yang pada akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan cita-cita luhur bangsa.

Mari bangun Indonesia dengan technopreneurship...!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Punteun buat panitia,
saya adalah salah seorang yang namanya tercantum diatas..
Pertama pengen nanya follow up selanjutnya dari pengumuman ini gimana ya? (ehm, ngerti lah ya maksudnya apa..hehe)
trus yang kedua dimana ya saya bisa baca semua cerpen dan opini dari nama2 yang tercantum diatas (termasuk yang 10 besar).. Penasaran soalnya..
yang ketiga seandainya saya ingin melihat penilaian terhadap karya saya gimana caranya yah? Lumayan lah bisa jadi masukan juga buat saya..

Terima Kasih.