Minggu, 02 Maret 2008

Juara II Lomba Menulis Opini PBT ITB 2008

Menabung Indonesia

Membangun Kemandirian Bangsa

Oleh : Hendro Pratama

Tulisan yang penulis buat hari ini adalah rangkaian puisi untuk Indonesia. Opini, tulisan, gagasan, adalah puisi, yang selalu indah diucapkan. Namun lagi-lagi kita akan –atau selalu?- terjebak dalam rentetan masalah dalam pengaplikasian, bagaikan menulis prosa yang buruk. Penulis berharap agar kesenjangan antara penulisan opini ini tidak terlalu lebar dengan kenyataan di lapangan karena semua data yang ada dalam buku ini akurat, karena langsung diambil dari sumbernya..

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Memiliki kekayaan alam yang melimpah, tidak perlu saya sebut satu persatu disini, kita semua sudah tahu. Yang kita takutkan, jangan-jangan karena negeri ini sedemikian kaya, maka inilah yang membuat kita terbuai dan enggan bekerja keras. Jika kita lahir di Singapura atau Jepang, sedari kecil mungkin kita sudah ditanamkan bahwa “kita tidak punya apa-apa kecuali otak dan semangat bekerja keras!”. Bangsa kita punya sejarah yang luar biasa, sebelum dijajah oleh V.O.C. Kita punya modal untuk maju, yaitu sejarah yang gemilang, pernah mendirikan nusantara yang tersebar hinggga Filipina dan Thailand. Namun, itu masa lalu. Kita sekarang ada dalam masa dimana ekonomi kita terpuruk, kekayaan kita dirampas, martabat kita terjerembab di mata dunia. Begitu banyak masalah yang ada di Indonesia membuat kita bingung, mau mulai dari mana untuk menyelesaikannya? Setidaknya, pikiran itu terlintas dalam hati penulis. Namun, akhirnya penulis berketetapan hati untuk menulis dua hal yang penulis anggap penting. Secara umum, saya akan membahas dua aspek yang paling penting saat ini. Pertama, kebijakan politik dan kedua kemandirian energi.

Kebijakan Politik

Pola Kepemimpinan dari kemerdekaan hingga reformasi

Adalah menarik jika kita perhatikan beberapa gejala yang tertangkap tentang pemerintah dari awal negara ini merdeka hingga sekarang.

Pertama, apa yang dinyatakan pimpinan pemerintahan bukanlah apa yang dijalankan oleh pemerintahannya, misalnya presiden dan wapres kita –dari dulu sampai sekarang- dan sejumlah menteri ekonomi berulang-ulang pernyataan bahwa pemerintah berusaha menekan angka kemiskinan dan menumbuhkan sektor riil. Tapi, kebijakan-kebijakan yang ada jusrtu berdampak sebaliknya.

Kedua, janji / rencana awal dengan implementasi kinerja-kinerja birokrasi kerapkali berbeda. Malah menunjukkan gejala neoliberal yang proefisiensi sambil abai pada pertimbangan populis.

Ketiga, visi intelektual pimpinan pemerintahan kerapkali berjarak dengan kemampuan pengelolaan sumberdaya politik untuk mengamankan dan menjalankan visinya. Misalnya dalam kasus revitalisasi pertanian, sampai sekarang belum terlihat tanda-tanda tegas bahwa program ini akan diprioritaskan, terlihat bagaimana kedelai menjadi barang langka.

Keempat, pemerintah kadang melaksanakan tugas retorika dan diplomasi yang baik, tapi tertatih-tatih dalam kinerja dan meninggalkan kapasitas manajemen kebijakan mereka.

Hal diatas disebut Susan Stokes sebagai pencederaan mandat1 . Menariknya, gejala ini terlihat kentara dalam pemerintahan kabinet Keluarga Mahasiswa ITB beberapa tahun ini. Menurut Stokes, pencederaan mandat adalah persoalan mendasar dari demokrasi. Padahal idealnya, segala kritik yang ada dipahami sebagai anjuran untuk menata kembali pemerintahan sekaligus memanajemen kebijakan dan pemerintahan, sekaligus menghimbau kepeda calon penanggungjawab kebijakan di pemerintahan agar berbicara sesuai dengan data dan prestasi yang sebelumnya pernah dilakukan. Kesulitan yang terjadi dalam pemerintah pusat adalah mengelola perbedaaan pendapat yang timbul dari dalam suatu struktur pemerintahan.

Keragaman yang produktif

Pertanyaannya, bagaimana mengelola perbedaan pendapat dalam suatu struktur pemerintahan agar menjadi keragaman yang produktif? Membangun Indonesia adalah cita-cita sang sangat besar dengan melibatkan berjuta orang di dalamnya. Setidaknya, kita harus mengembangkan beberapa tradisi berikut yang mengubah keragaman menjadi produktifitas

Pertama, tradisi ilmiah. Kita bekerja dalam suatu domain yang luas dan rumit. Tidak mungkin dicerna, dianalisis dan direspons tanpa keluasan ilmu pengetahuan dan kemampuan berfikir yang sistematis dan objektif, termasuk kesediaan data yang akurat antar elemen pemerintahan. Struktur pengetahuan yang kokoh, sistematika berfikir yang sokid dan kemampuan pembelajaran yang cepat adalah tiga landasan utama tradis ilmiah.

Kedua, tradisi verbalitas. Tradisi ilmiah tumbuh subur karena diwadahi keterbukaan yang wajar, yaitu kebiasaan mengungkapkan pikiran secara wajar, natural dan apa adanya. Banyak orang yang memiliki gagasan cerdas, tapi tidak tersampaikam karena merasa kurang pantas, kurang layak, sungkan atau yang lainnya

Ketiga, tradisi pembelajaran kolektif. Kita harus belajar baik dari referensi normatif maupun pengalaman sejarah. Karena sikap pengalaman adalah manusiawi dan nisbi, kita harus belajar terus menerus untuk meningkatkan kapasitas kerja, efisiensi dan efektivitas.

Keempat, tradisi toleransi. Kita harus membiasakan diri berlapang dada, memiliki kemauan untuk melepaskan diri dari segala prasangka negatif dan berusaha menghargai waktu. Karena gagasan harus diuji di lapangan, dan itu membutuhkan waktu.

Harapannya, tradisi ilmiah diatas menumbuhkan keseimbangan yang indah antara kebebasan dan tanggung jawab, keterbukaan dan keterkendalian.

Menyoal Konsistensi Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi

Transparency International, sebuah organisasi nonpemerintah berpusat di Berlin menempatkan Indonesia di peringkat bawah dalam Indeks Persepsi Korupsi. Tabel dibawah ini menunjukkan perbandingan peringkat Indonesia dalam tujuh tahun terakhir

Tabel 1. Nilai dan Peringkat Indonesia berdasarkan Corruption Perception Index

Tahun

Skor CPI

Peringkat

Jumlah Sampel (negara)

2000

1.7

86

90

2001

1.9

88

91

2002

1.9

96

102

2003

1.9

122

133

2004

2.0

137

146

2005

2.2

140

159

2006

2.4

130

163

2007

2.3

143

179

Sumber: www. Transparency.org, data diolah

Menurut survey doing In business in 2005 yang dirilis pada tahun 2004, untuk memulai bismis di Indonesia membutuhkan waktu 151 hari. Bandingkan dengan sejumlah Negara lain di kawasan Asia Tenggara, di Malaysia membutuhkan 30 hari, Thailand 33 hari, sementara di Singapura hanya 8 hari.

Waktu yang lama untuk berbisnis di Indonesia seiring dengan bearnya ongkos yang diperlukan untuk berbisnis. Di Indonesia, besarnya ongkos yang dikeluarkan oleh pengusaha untuk memulai bisnis sebesar 130.7 % dari pendapatan nasional per kapita (gross national income per capita). Bandingkan dengan Malaysia yang hanya membutuhkan 25.1 % dari pendapatan nasional per kapita, atau Thailand yang hanya 7%, bahkan singapura hanya 1.2% pendapatan nasional per kapita. Bisa jadi, karena perbedaan kurs mata uang menyebabkan ongkos berbisnis di Singapura atau negara lain tidak jauh berbeda dengan Indonesia, tapi survey itu menghitung berdasarkan pendapatan nasional perkapita jadi relatif mudah. PAda tahun 2007, memang kinerja pemerintah naik. Untuk berbisnis di Indonesia hanya membutuhkan waktu 105 hari dan pendapatan perkapita 80%, tapi tetap saja relatif mahal. Waktu yang lama dan ongkos yang harus dikeluarkan untuk berbisnis sebenarnya menunjukkan adanya korupsi perizinan, sehingga biaya investasi di Indonesia relatif mahal dan lama. Situasi ini membuat Indonesia tidak kompetitif dibandingkan dengan Negara lain di Asia. Untuk menegakkan hokum dan kontrak bisnis di Indonesia membutuhkan waktu 570 hari. Bandingkan dengan Vietnam yang hanya 404 hari, Thailand 390 hari dan Singapura yang hanya 69 hari. Fakta-fakta ini menunjukkan peradilan di Indonesia tidak efisien. Mengapa tidak efisen? Salahsatunya adalah korupsi di peradilan atau mafia peradilan.

Jajaran pemimpin pemerintah Indonesia SBY sudah berkomitmen tidak akan korupsi. Program pemberantasan Korupsi dibuat oleh pemerintah antara lain penunjukkan Abdurrachman Saleh sebagai Jaksa Agung, lalu digantikan oleh Hendarman Supandji3 , Penerbitan Inpres No.5 thn 2004 tentang percepatan pemberantasan Korupsi4, membentuk Timtas Tipikor dan yang paling spektakuler adalah pembentukan KPK. Hasilnya, banyak anggota DPRD dan kepala derah yang dipenjara, penahanan menteri Agama, Pemeriksaaan Menteri Hukum dan HAM, pengadilan terhadap dirut Bank Mandiri, pengadilan dirut BI, penahanan gubernur Aceh,vonis terhadap mantan Menteri Kelautah, penahanan beberapa anggota KPU dan banyak lagi.

Sayangnya, ada beberapa hambatan yang harus diperhitungkan. Pertama, adanya mafia peradilan.Kita dengar beberapa kasus suap yang menghebohkan, seperti Kasus suap kepada hakim agung oleh Probosutedjo dan kasus Suap pilkada depok. Belum lagi, Resistansi hakim diantaranya keengganan para hakim melaporkan kekayaan kepada KPK. Hal ini sungguh ironis mengingat banyaknya program reformasi kelembagaan yang digulirkan di MA dan namyaknya hibah dana bantuan yang besarnya jutaan dollar bagi perbaikan peradilan.

Kedua, munculnya resistansi birokrasi terhadap penerapan good governance, khusunya transparansi dan akses public terhadap informasi. Menurut Robert Klitgaard, korupsi sama dengan kewenangan tambah monopoli minus akuntabilitas. Oleh karena itu upaya penting memberantasnya adalah meningkatkan transparansi

Dalam kepolisian juga terjadi beberapa kasus yang mencoreng citra institusi ini seperti sikap membanggakan diri, mempertahankan jabataan, penyalahgunaan wewenang dan lainnya. Penyalahgunaan wewenang dalam praktek pemberian izin, perlindungan illegal logging, belanja barang kepolisian dan infrastruktur, dan lainnya. Karena berkembang dalam waktu lama, bisa jadi sikap itu membudaya dan menjadi kepentingan kolektif. Perlu kerja keras untuk memberantasnya.Hal ini menyedihkan, karena kepolisian memiliki posisi strategis dalam masyarakat sebagai pelayan masyarakat. Terbentuknya korps kepolisian yang bersih adalah prasyarat terbentuknya masyarakat yang tertib karena patuh dan hormat terhadap proses hukum

Setidaknya ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan. Pertama, Sudah saatnya pemerintah memilih prioritas dalam pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi dalam skala besar cukup berhasil, walaupun masih terkesan tebang pilih dalam penyelesaiannya. Kedepannya, pemberantasan korupsi harus dapat dinikmati dalam masyarakat melalui perbaikan pelayanan public atau penngkatan kepercayaan terhadap institusi hokum. Jika korupsi di sector perizinan bisnis, pajak dan bea cukai maka investasi semakin mudah dan murah dan kita harap banyak investor yang tertarik berinvestasi di Indonesia

Kedua, mantan ketua KPK, Taufiequrrachman Ruki menyatakan semangat pemberantasan korupsi hanya ada pada KPK dan segelintir pemimpin, maka para pemimpin pemerintahan wajib menularkan semangat ini kepada seluruh pimpinan lembaga kenegaraan, tidak hanya di awal 2004 pada penerbitan Inpres No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dengan memanggil seluruh pimpinan tinggi negara. Para pemimpin patut meneladani langkah Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H.,M.Sc., Beliau mengumpulkan seluruh perwira di Satuan Lalu Lintas mulaitingkat polres hingga polda. seluruh perwira Satlantas yang hadir, mulai dari pangkat AKP hingga Kombespol, diminta menandatangani pakta kesepakatan bersama. Isi kesepakatan itu pada intinya ialah meningkatkan pelayanan

kepada masyarakat yang tepat waktu, tepat mutu, dan tepat biaya.4

Ketiga, tindakan-tindakan besar seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang adalah akumulasi dari perbuatan-perbuatan kecil yang ditoleransi. Kita harus mulai membenahinya dari hal-hal yang kecil. KPK dan segelintir pemimpin adalah sekelompok orang. Untuk memberantas hal yang bersifat sistemik, kita juga harus mencari solusi sistemik. Perlu dibuat mekanisme pelaporan, reward and punishment serta pelaksanaan yang tegas agar korupsi dapat ditekan sekecil mungkin

Menyoal politik Luar Negeri

Prinsip bebas aktif Indonesia perlu dipertahankan. Setidaknya, beberapa pilar politik luar negeri dapat diterjemahkan dalam lima pilar. Pertama, tidak memasuki pakta militer dengan negara lain dengan tidak memperbolehkan pangkalan militer asing dibangun di Indonesia. Artinya, Indonesia anti itervensi asing dalam bidang militer. Kedua, kebebasan berfikir dan kemandirian berdindak yang dialndasi sikap konstruktif. artinya, Indonesia di dunia Internasional bersifat bebas dan aktif dengan menerapkan sikap dan pola pikir yang tidak melulu dilandaskan pada kecurigaan, ketakutan dan sifat defensif, melainkan pada rasa percaya diri, bersemangat kemitraan dengan negara-negara lain untuk memperjuangkan kepentingan nasional5. Ketiga, identitas internasional. Dalam hal ini,terkesan kuat, presiden harus menjaga dan lebih jauh meningkatkan citra Indonesia sebagai ngara yang outward looking dan tidak segan terlibat dalam masalah-masalah internasional. Keempat, konektivitas dengan memperluas jaringan dalam hubungan luar negeri antara lain memperkokoh track-track diplomasi Indonesia serta memperluas policy network dalam perumusan politik luar negeri. Kelima, pentingnya bebas aktif berlandaskan corak nasionalisme Indonesia. Prinsip ini merupakan perwujudan konsep bebas (independent, bukan free) artinya kepentingan nasional yang dicapai dalam politik luar negeri ditujukan sepenuhnya mengejar kepentingan bangsa Indonesia. Tentunya kepentingan nasional bukanlah desain aktor asing.

Indonesia mempunyai beberapa modal yang sekaligus selling value di dunia Internasional. Pertama, pembentukan masyarakat madani dengan proses demokratisasi Indonesia yang merupakan proses local dengan kehidupan Islam moderat di Indonesia.6 Masyarakat madani (civil society) memiliki peran yang sangat penting. Keterlibatan dan keikutsertaan ormas berbasis Islam baik dalam proses kebijakan luar negeri maupun dalam negeri dianggap dapat mendukung diplomasi serta memperkuat dukungan di dalam negeri terhadap agenda-agenda Indonesia di panggung internasional7. Modal penting lainnya adalah maraknya penerapan good governance dan budaya antikorupsi di Indonesia, Meski belum berhasil secara menyeluruh. Indonesia juga harus mempunyai pemimpin-pemimpin yang internasionalis, berwawasan global yang memberi perhatian pada masalah internasional secara intensif. Ia tidak pro Barat, tapi tidak anti barat. Pemimpin Indonesia harus jeli dan kreatif dalam menjalin hubungan dengan barat sepanjang bermanfaat dengan kepeningan nasional. Pemimpin-pemimpin Indonesia bukanlah orang yang paranoia atau siege mentality (merasa sedang dikepung oleh asing).

Pemimpin bangsa harus mempunyai visi Internasionalisme, didukung oleh kempuan komunikasi yang andal , kepiawaian diplomasi dan personal network yang luas di kalangan aktor politik internasional8. Hal ini penting karena ada pergeseran konsep keamanan. Konsep keamanan masa kini utamanya menyangkut isu primordial seperti etnis, budaya dan agama ancamannya tidak hanya menitikberatkan pada masalah militer tetapi juga aspek ekonomi, sosial-budaya, lingkungan hidup, demokratisasi dan HAM. Dengan demikian, keamanan tidak hanya terfokus dalam national independence, kedaulatan dan integritas teritorial namun mencakup nilai-nilai baru baik dalam tataran individual maupun global yang perlu dilindungi, seperti HAM, demokratisasi, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan upaya memerangi kejahatan lintas batas (transnational crime) baik dalam perdagangan narkotika, money laundering dan terorisme9. Yang terakhir, dukungan sarana dan prasarana perlu ditingkatkan, terutama pada kualitas pelayanan keprotokolan, fasilitas diplomatik dan kekonsuleran. Misalnya, pungutan liar dari pengurusan visa dan paspor dari beberapa kedubes RI dan penyadapan terhadap KBRI di beberapa negara di eropa. Hal ini mencerminkan masih rendahnya kesadaran penggunaan teknologi, atau setidaknya mengoptimalkan Lembaga Sandi Negara.

Kemandirian Energi

Indonesia kaya sumber energi, tetapi pemanfaatan sumber itu bukan hal gampang. Kebijakan keliru dapat memicu krisis energi. Meskipun kaya energi, ternyata negara Indonesia mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap minyak bumi. Secara umum, konsumsi minyak bumi dalam negeri terbagi menjadi dua kutub besar. Pertama, konsumsi untuk listrik. Kedua, konsumsi untuk pemenuhan kegiatan ekonomi (industri, transportasi dan pemakaian rumah tangga).

Saat ini produksi minyak Indonesia sedang mengalami masa terendah selama 30 tahun ini dan diperparah dengan melonjaknya biaya cost recovery yang mencapai titik tertinggi dalam sejarah perminyakan nasional.

Dengan harga minyak sampai menembus 100 dolar AS per barrel10, maka permintaan minyak akan turun karena industri tidak mampu mengonsumsinya. Dampak berikutnya, industri akan berhenti beroperasi dan perekonomian akan mandek

Komposisi energi primer pada 2008 yang disiapkan adalah batubara 58.668 Giga Watt hour (GWh) atau mencakup 53 persen, minyak 22.457 GWh (20 persen), gas 18.208 GWh (16 persen), panas bumi 7.923 GWh (tujuh persen), dan air 4.415 GWh (empat persen). Melihat komposisi energi primer itu, peranan minyak masih dominan dan akan semakin meningkat apabila terjadi gangguan ketersediaan gas dan batubara seperti 2007.

Pada 2007, rencananya pemakaian BBM hanya sebesar 7,65 juta kiloliter, namun terpaksa naik menjadi 10,02 juta kiloliter akibat gangguan pasokan batubara dan gas alam. Sementara pada 2008, kuota APBN hanya menetapkan 9,1 juta kiloliter, padahal kebutuhan BBM PLN diperkirakan mencapai 10,6 juta kiloliter. 10

Kebutuhan pembangkit listrik dapat dilihat dari diagram berikut ini








Diagram 1. Persentase kebutuhan pembangkit listrik terhadap sumber energi (sumber ESDM)

Pembangkit listrik tenaga uap ( PLTU ) termasuk andalan pemerintah dalam penyediaan listrik. Namun, PLTU kerapkali bermasalah karenanya letak berjauhan dari sumber batu bara. Sering sekali pasokan batubara mandek karena kapal pengangkut terhalang oleh gelombang tinggi, akibatnya adalah anjloknya produksi listrik dan pemadaman bergilir Jakarta dan sekitarnya. 11. Tak ragu lagi, Indonesia mengalami krisis energi. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Krisis energi dunia merupakan masalah bersama dan sudah tidak dapat dihindari lagi. Masyarakat dunia terutama di negara-negara maju sudah mulai mengambil langkah-langkah untuk mengurangi krisis tersebut. Mereka seakan berlomba-lomba untuk mencari alternatif energi pengganti dengan menggunakan bahan-bahan yang dapat diperbarui dan ramah terhadap lingkungan. Penggunaan bahan-bahan tambang (yang tidak dapat diperbarui) untuk pembangkit listrik mulai ditinggalkan. Teknologi-teknologi hemat bahan bakar dengan mesin-mesin yang dapat bekerja maksimal terus diciptakan. Inilah gambaran umum global sekarang krisis energi terjadi dan kondisi lingkungan hidup dunia sudah mulai rusak.

Masalah energi adalah masalah manusia di dunia, bukan hanya masalah segelintir pemimpin negara. Permasalahannya harus diselesaikan oleh partisipasi seluruh rakyat. Masalah ini punya beberapa tahapan solusi.

1. Kampanye tentang konservasi, diversifikasi dan efisiensi pemanfaatan energi secara massif. Karena konservasi inilah yang akan menjadi tulang punggung pengereman dana subsidi energi (baik listrik maupun transportasi). Fenomena yang kita dapatkan adalah orang – orang yang merasa mampu membayar energi (Listrik dan BBM )menggunakan subsidi pemerintah dengan boros. Pola pikir yang masih tertanam adalah “kalo mampu bayar, kenapa harus dihemat?”. Akibatnya, televisi, komputer, AC, dan barang elektronik lainnya tetap dinyalakan walaupun tidak dipakai. Padahal, uang negara untuk subsidi dipakai. Ironisnya, pengguna yang mampu ini mencapai 75 % pemakai energi di Indonesia.

San Fransisco mencoba mengajak penduduknya untuk lebih meningkatkan kepedulian tentang masalah polusi cahaya dan banyaknya energi yang terbuang pada setiap hari Sabtu selama satu jam. Pemadaman yang dilakukan dari jam 20.00 tersebut diberlakukan pada lampu-lampu penerangan yang tidak terlalu dibutuhkan. ''Tujuan program tersebut adalah mengkomunikasikan betapa mudahnya melakukan sesustu yang sederhana untuk menghemat energi,'' ungkap Nathan Tyler, koordinator program tersebut. Menurutnya, program pemadaman tersebut didesain untuk menunjukkan bagaimana peranan individu jika dilakukan secara bersama-sama bisa memberikan arti yang besar. Los Angeles sendiri juga berencana untuk melakukan program pemadaman tersebut pada hari Sabtu malam. Mungkin kita bisa mengadakan penghematan dengan melakukan pemadaman bergilir di luar jam-jam produktif. Tapi pemadaman bergilir ini terjadwal, sehingga diterima oleh masyarakat. Hal ini untuk menyadarkan masyarakat bahwa persoalan penghematan energi adalah persoalan serius.

2. Inovasi teknologi, yaitu alokasi dana untuk riset pengembangan energi terbaharukan. Ini mutlak harus dilakukan. Menyisihkan sebagian APBN untuk kepentingan jangka panjang. Dalam jangka pendek, memang subsidi BBM dan listrik sangat mendesak, tapi jika riset tidak kita lakukan secara terstruktur dan tidak dimulai dari sekarang, selamanya kita akan terjebak dalam krisis energi. Kita lihat bagaimana Negara-negara lain berlomba-lomba mengembangkan energi alternatif, sementara kita hanya mampu menyaksikan saja dan hanya berkutat pada pemenuhan subsidi saja. Imbasknya, efisiensi harus ditekan di pos-pos yang dirasa bisa ditekan sesuai dengan prioritas. Pemerintah juga harus memiliki target yang jelas, kapan krisis energi ini akan berakhir sehingga pos-pos lain seperti pertahanan, pertanian bisa mendapat jatah yang layak

3. Perbaikan infrastruktur primer penggerak roda perekonomian. Termasuk membangun pembangkit di daerah dekat tambang agar akses terhadap sumber energi (dalam kasus ini batubara) lancer. Sedangkan distribusinya bisa melewati kabel bawah laut. Jika pembangkit misalnya dibuat di pulau Kalimantan, membutuhkan biaya 18 triliun. Sedangkan biaya transportasi batu bara untuk masa 20 tahun mencapai 3 triliun, belum lagi masalah keterlambatan dan rusaknya jalan yang menjadi penghambat.

4. Penggunaan energi sesuai dengan potensi masing-masing daerah.

i. Pemanfaatan Energi Angin

Pemanfaatan tenaga angin sebagai sumber energi di Indonesia bukan tidak mungkin dikembangkan lebih lanjut. Di tengah potensi angin melimpah di kawasan pesisir Indonesia, total kapasitas terpasang dalam sistem konversi energi angin saat ini kurang dari 800 kilowatt. Kecepatan angin di wilayah Indonesia umumnya di bawah 5,9 meter per detik yang secara ekonomi kurang layak untuk membangun pembangkit listrik. Namun, bukan berarti hal itu tidak bermanfaat.

beberapa wilayah memiliki kecepatan angin di atas 5 m/detik, masing-masing Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Pantai Selatan Jawa.

ii. Pemanfaatan Energi Tidal dan Ombak

Energi tidal atau energi pasang surut barangkali kurang begitu dikenal dibandingkan dengan energi samudera yang lain seperti energi ombak (wave energy). Jika dibandingkan dengan energi angin dan surya, energi tidal memiliki sejumlah keunggulan antara lain: memiliki aliran energi yang lebih pasti/mudah diprediksi, lebih hemat ruang dan tidak membutuhkan teknologi konversi yang rumit. Kelemahan energi ini diantaranya adalah membutuhkan alat konversi yang handal yang mampu bertahan dengan kondisi lingkungan laut yang keras yang disebabkan antara lain oleh tingginya tingkat korosi dan kuatnya arus laut. Saat ini baru beberapa negara yang yang sudah melakukan penelitian secara serius dalam bidang energi tidal, diantaranya Inggris dan Norwegia. Di Norwegia, pengembangan energi ini dimotori oleh Statkraft, perusahaan pembangkit listrik terbesar di negara tersebut. Statkraft bahkan memperkirakan energi tidal akan menjadi sumber energi terbarukan yang siap masuk tahap komersial berikutnya di Norwegia setelah energi hidro dan angin. Perlu diketahui bahwa potensi energi tidal di Indonesia termasuk yang terbesar di dunia, khususnya di perairan timur Indonesia. Sekarang inilah saatnya bagi Indonesia untuk mulai menggarap energi ini. Jika bangsa kita mampu memanfaatkan dan menguasai teknologi pemanfaatan energi tidal, ada dua keuntungan yang bisa diperoleh yaitu, pertama, keuntungan pemanfaatan energi tidal sebagai solusi pemenuhan kebutuhan energi nasional dan, kedua, kita akan menjadi negara yang mampu menjual teknologi tidal yang memberikan kontribusi terhadap devisa negara.

iii. Pemanfaatan energi panas bumi

Akhir tahun 2006 yang lalu MIT dengan sponsor dari Departemen Energi AS merilis laporan mengenai EGS (enhanced geothermal system) yang diberi judul The Future of Geothermal Energy. Laporan yang disusun oleh berbagai ahli di bidang teknologi energi, ekonomi dan lingkungan tersebut menyimpulkan bahwa dengan memanfaatkan EGS, energi panas bumi akan mampu menyumbang 10% kebutuhan listrik di AS pada tahun 2050. Jumlah ini setara dengan pembangkit listrik beban dasar dengan kapasitas 100 GWe. Bahkan laporan tersebut juga menyebutkan, dengan pengembangan teknologi lebih lanjut, jumlah energi yang secara ekonomis dapat dimanfaatkan bisa meningkat hingga dari 10 kali lipat dari yang ada saat ini. Dengan demikian, menurut laporan tersebut, EGS bisa menjadi sumber energi pilihan yang berkelanjutan hingga berabad-abad.

Seperti diketahui, energi panas bumi memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sumber energi terbarukan yang lain, diantaranya: (1) hemat ruang dan pengaruh dampak visual yang minimal, (2) mampu berproduksi secara terus menerus selama 24 jam, sehingga tidak membutuhkan tempat penyimpanan energi (energy storage), serta (3) tingkat ketersediaan (availability) yang sangat tinggi yaitu diatas 95%. Namun demikian, pemulihan energi (energy recovery) panas bumi memakan waktu yang relatif lama yaitu hingga beberapa ratus tahun. Secara teknis-ekonomis, suatu lokasi sumber panas bumi mampu menyediakan energi untuk jangka waktu antara 30-50 tahun, sebelum ditemukan lokasi pengganti yang baru.

Panas bumi yang selama ini dimanfaatkan untuk pembangkit listrik masih terbatas pada sumber-sumber yang dikategorikan ideal atau high-grade hydrothermal system. Secara umum sumber panas bumi seperti ini memiliki karakteristik seperti kedalaman reservoir yang relatif dangkal atau kurang dari 2.500 meter, memiliki kandungan uap dengan enthalpi relatif tinggi dan serta memiliki permeabilitas yang memenuhi syarat.

Dengan EGS, energi panas bumi dapat dieksploitasi pada lokasi yang saat ini dianggap tidak potensial. Hal ini dilakukan antara lain dengan dengan melakukan penyempurnaan teknologi pengeboran, pengkondisian reservoir serta penyempurnaan teknologi konversi. Teknologi EGS yang ada saat ini telah dipakai pada pengeboran hingga kedalaman 3.000 - 5.000 m. Di masa yang akan datang, diharapkan pengeboran dapat dilakukan hingga kedalaman 6.000 sampai 10.000 m. Pengkondisian reservoir untuk sumber panas bumi yang memiliki permeabilitas rendah dilakukan dengan cara menciptakan retakan (fracture) dalam volume yang luas yang sehingga memungkinkan transfer panas yang lebih besar dan efektif. Teknologi konversi juga telah ditingkatkan untuk mendapatkan transfer panas yang lebih efisien.Sekalipun demikian, masih ada sejumlah tantangan teknologi yang masih harus diatasi. Di bidang pengeboran misalnya, diperlukan teknologi yang mampu beroperasi dalam lingkungan dengan suhu tinggi dan korosif serta dengan sifat batuan yang cenderung lebih keras. Di bidang pengkondisian reservoir diperlukan antara lain: teknologi untuk mengkaji secara akurat volume dan bidang transfer panas reservoir, peralatan ukur yang mampu beroperasi pada suhu tinggi, penelitian yang lebih detail mengenai interaksi air dan batuan, teknologi pengendalian aliran fluida dengan suhu tinggi serta pemodelan reservoir yang lebih akurat. Pada sisi konversi, penyempurnaan perlu dilakukan antara lain dengan cara mengaplikasikan kondisi operasi superkritis dan memanfaatkan produk sampingan uap panas dari operasi pengeboran minyak dan gas. Mengingat teknologi EGS memiliki kemiripan dalam banyak hal dengan teknologi yang dipakai dalam industri pengeboran minyak dan gas, para ahli yang menyusun laporan tersebut yakin bahwa tantangan-tantangan tersebut dapat diatasi dengan lebih mudah dan dengan biaya yang lebih rendah.

Laporan ini tentu sangat penting bagi Indonesia, mengingat besarnya potensi panas bumi di negeri kita yang saat ini diperkirakan mencapai 27 GWe. Angka ini setara dengan 40 persen sumberdaya panasbumi dunia dan ini baru meliputi potensi panas bumi konvensional. Dengan teknologi EGS potensi tersebut sangat mungkin ditingkatkan menjadi 5 kali lipat, atau lebih dari 125 GWe. Katakanlah, hingga 25 tahun yang akan datang 50 persen dari potensi tersebut bisa dimanfaatkan, maka pada 2030 diperkirakan energi panas bumi mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan listrik Indonesia. Jika hal ini berhasil diwujudkan, dan dengan dukungan pengembangan sumber daya energi terbarukan yang lain, maka jaminan ketersediaan sumber energi listrik yang berkesinambungan bagi Indonesia akan teratasi.

iv. Penggunaan biomass, kompor berbahan baker serbuk tanaman.

Serbuk tumbuhan, seperti sisa gergaji kayu dan sekam, selama ini lebih sering hanya dijadikan sebagai sampah. Namun saat ini, barang sisa tersebut dapat digunakan sebagai salah satu bahan bakar alternatif, untuk menggantikan minyak tanah dan gas yang semakin mahal. Pemanfaatan serbuk tumbuhan, seperti sisa gergaji kayu dan sekam sebagai bahan bakar kompor, ditemukan oleh Ahmad Sucipto (33), warga Desa Sutamaja, Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes. Kompor dengan bahan bakar serbuk gergaji kayu dan sekam padi diberinya nama biomas. Biomas diartikan sebagai memasak menggunakan tumbuh-tumbuhan. Serbuk gergaji kayu dan sekam padi adalah bahan yang mudah didapat dimana-mana.

Kompor biomas memiliki nyala api merah, namun tidak menimbulkan asap. Untuk satu tabung, diperlukan serbuk gergaji kayu atau sekam padi sebanyak 1,25 kilogram. Dengan bahan bakar sebanyak itu, bisa dihasilkan nyala api selama dua jam. Besar kecilnya nyala api kompor biomas bisa diatur, sesuai dengan kebutuhan. Penggunaan kompor biomas jauh lebih irit bila dibandingkan dengan kompor minyak tanah. Jumlah kalori panas yang dihasilkan pun lebih banyak. Dari hasil perbandingan yang dilakukannya, untuk merebus satu panci air hingga mendidih dengan menggunakan kompor minyak tanah, diperlukan waktu selama 32 menit. Namun dengan menggunakan kompor biomas hanya dibutuhkan waktu sekitar 18 menit. Selain itu, dengan menggunakan kompor biomas, bisa dilakukan penghematan hingga Rp 18.000 per minggu, bila dibandingkan dengan menggunakan kompor minyak tanah.

Penutup

Persoalan Indonesia terlalu banyak. Tidak cukup hanya dalam opini ini saja tertuang. Lalu, dengan gambaran diatas, mungkinkah kita harus optimis dalam carut-marut Negara ini? Dibalik ketidakpastian dan kemelut yang melanda negeri ini? Adakah alas an mengapa kita harus optimis ?

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, kita –rakyat Indonesia- harus membongkar ulang paradigma kita tentang optimisme versus pesimisme. Ada dua kesalahan dalam konteks ini. Pertama, kita terbiasa membayangkan Indonesia sebagai “satuan besar” yang beban pembenahannya diletakkan sepenuhnya pada pundak kita. Kita tidak dibiasakan memandang pembenahan Indonesia adalah hasil dari usaha-usaha kecil yang dilakukan banyak orang dengan segenap keterbatasannya. Kedua, selama ini kita terbiasa menitipkan pembenahan Indonesia kepada segelintir “orang-orang besar”, yaitu orang-orang yang memerintah dan berkuasa. Kita sangat terbiasa memandang sejarah sebagai hikayat orang besar yang di pundak mereka Indonesia diusung kemana-mana. Kita tak terbiasa memahami sejarah sebagai percikan peluh dan darah orang-orang yang namanya tidak dikenal yang jumlahnya jutaan, yang memikul serpihan kecil Indonesia sesuai dengan keterbatasan kemampuan dan arena kerja masing-masing untuk memerdekakan secara fisik negeri ini. Terjadilah kekeliruan paradigmatis sebagai konsekuensi. Sekarang kita terbiasa menunggu orang-orang besar bekerja atas nama dan untuk kita. Kita terbiasa menitipkan perebutan masa depan pada segelintir orang yang kita pandang lebih dari kita, kita tidak terbiasa menabung Indonesia.

Dalam hal ini, kita harus memelihara optimisme. Pesimisme yang ada di dekat kita sekarang terkesan bukanlah pilihan, melainkan sesuatu yang tidak terhindarkan. Kita terbiasa memborong pesimisme, tapi jarang mencicil optimisme. Langkah kita ke depan dimulai dengan menabung optimisme karena kita tak akan sanggup membangun Indonesia sendirian. Kita bisa membangun perbaikan dalam skala yang terjangkau, di tempat aktivitas masing-masing. Bagi mereka yang terbiasa dengan mekanisme kerja instant, gagasan ini tentu tidak menarik. Justru, itulah persoalan bangsa ini, kita tidak terbiasa bekerja keras. Tidak perlu menunggu ratu adil untuk datang ke negeri ini dan menyelesaikan masalah negara ini. Ratu adil itu sudah disini, ia adalah kau, aku, dan kita semua! Krisis ini tidak bisa diselesaikan oleh segelintir orang. Mari, kita bersama-sama mencicil optimisme sembari menabung Indonesia!

Catatan Kaki:

1) Susan C. Stokes.2001. Mandates and Democracy: Neoliberalism by surprise in Latin Amerika. Cambridge: Cambridge University Press.

2. Anis, Matta.2002.Menikmati Demokrasi. Jakarta: Pustaka Saksi

3) Setidaknya, figur beliau dikenal sebagai Hakim Agung yang bersih dan dianggapmendukung pemberantasan korupsi

4) Pikiran Rakyat Edisi 10 Februari 2008

5) Yuri Octavian Thamrin.2005."Kilas Balik dan Proyeksi Diplomasi RI".MO, Men's Obsession, Edisi Khusus SBY 2005, Jakarta:PT. Dharmapena Cipta Media.hlm. 145

6) "Presiden RI: Islam harus bantu Menjawab Tantangan Global". Kompas 21 Juni 2006.

7) "Rizal Sukma."Dimensi Domestik Politik Luar Negeri Indonesia".2003.Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia. Center for Strategic and International Studies. hlm. 47-50"

8) Dr. Anak Agung Banyu Perwita & Dr. Yanyan Mochamad Yani.2005. Pengantar Ilu Hubungan Internasional. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. hlm. 100.

9) Anak Agung Banyu Perwita."Iu KEamanan Non Tradisional dan Deain Beru Politik Luar NEgeri Indonesia". Dalam Bantarto Bandoro(ed).Op.Cit.hlm.98-101

10) 1 barrel = 158,99 liter

11)Pasokan Listrik Jawa-Bali Terbatas Pada 2008, http://www.antara. co.id/arc/2008/1/1/ pasokan-listrik-jawa-bali-terbatas-pada-2008/

12) ”Pindahkan Pembangkit Listrik ke Sumber Batu Bara ”Media Indonesia, Senin 25 Februari 2008

Tidak ada komentar: